Kamis, 02 April 2009

Tidak Seorangpun Suka Diperintah

Membahas hubungan baik dengan sesama manusia, suatu saat saya teringat dengan salah seorang pemimpin yang selama kurang lebih 2 tahun bersama saya disalah satu perbankan daerah. Selama dua tahun itu boleh dikatakan saya tidak pernah mendengar beliau memberi perintah langsung kepada siapapun. Dia selalu memberi saran-saran bukan perintah, beliau tidak pernah berkata misalnya “Kerjakan ini atau kerjakan itu,” atau “Jangan kerjakan ini atau jangan kerjakan itu” melainkan dia akan berkata, “Anda mungkin akan mempertimbangkan cara ini,” atau “Apakah menurut Anda cara ini bisa berhasil?” Sering sekali dia akan mengatakan setelah dia sudah mengkonsep surat, “Bagaimana

menurut Anda mengenai ini? Ketika memeriksa sebuah surat dari salah satu asistennya, dia akan mengatakan,”Mungkin apabila kita mengungkapkannya dengan cara ini, akan kelihatan lebih baik.” Dia selalu memberi kesempatan kepada orang lain untuk mengerjakan sendiri segala sesuatunya, dia membiarkan mereka melakukan pekerjaannya, membiarkan mereka belajar dari kesalahan mereka.
Teknik seperti itu membuat orang mudah memperbaiki kesalahannya. Teknik seperti itu mampu menyelamatkan rasa bangga seseorang dan memberikannya merasa dihargai, merasa dianggap penting. Cara kerja seperti itu mendorong semangat kerjasama, bukannya penentangan.
Rasa marah yang disebabkan oleh satu perintah yang kurang ajar, mungkin akan berakhir dalam waktu lama _bahkan bila perintah itu diberikan untuk mengoreksi suatu situasi yang jelas memang buruk.
Bercermin dari kejadian suatu pagi disuatu instansi pemerintah. Saat itu saya diareal parkir menunggu keponakan yang berurusan diinstansi tersebut, terlihat oleh saya seseorang yang saya tahu adalah kepala bagian diinstansi tersebut, gelisah dan berteriak mau memarkirkan mobilnya diparkir khusus kabag tersebut, namun terhalang mobil lain yang duluan parkir disitu yang tak lain adalah mobil tamu. “Mobil siapa yang parkir ditempat parkir saya?” kata sipejabat dengan kasar dan angkuhnya dan mengarah tangannya ke security yang saat itu sedang piket. Bersamaan terlihat ada tamu yang buru-buru menuju tempat kejadian, begitupula security tadi juga berlari kecil untuk mendekat. Ketika tamunya menjawab “maaf pak”, si pejabat kembali menunjukkan arogansinya kearah security dengan mengatakan “Segera pindahkan mobil itu sekarang juga, kamu masih mau kerja nggak?”.
Waktu itu security memang salah, tamunya juga salah. Seharusnya mobil tidak diparkir disana, tetapi efeknya mulai hari itu bukan hanya security itu saja yang membenci tindakan sikap si pejabat, melainkan rekan security, staf-staf lain dan para tamu diinstansi itu yang kebetulan menyaksikan kejadian juga ikut membenci dan jelas-jelas saya juga membencinya.
Bagaimana dia bisa mengatasi hal itu dengan cara berbeda? Kalau saja dia bertanya dengan cara yang ramah pada security,”Mobil siapa yang parkir disini?” dan kemudian memberi saran agar mobil itu bisa segera dipindahkan, tentu dengan semangat security yang lalai tadi mencari tahu pemilik mobil, atau dengan cepat dipindahkan dan kata maaf yang tulus akan dikatakan pemilik mobil, kemudian security tadi maupun staf-staf, tamu lain dan saya tidak akan marah dan merasa benci kepadanya.
Dengan cara mengajukan pertanyaan bukan hanya membuat sebuah perintah kedengaran lebih menyenangkan, cara itu seringkali mendorong kreativitas orang-orang yang Anda Tanya. Orang akan lebih suka menerima perintah kalau mereka ikut ambil bagian dalam membuat keputusan yang menyebabkan perintah itu dikeluarkan. Intinya tidak seorangpun suka diperintah maka ajukan pertanyaan, bukan memberi perintah langsung. (eppie-cool)
Read More..

2 komentar:

Dinoe mengatakan...

Memang benar bang, tak seorang pun suka diperintah-perintah..

the beauty of riau mengatakan...

Semua yang abg katakan benar,jika saya diperintah utk hal kebajikan dengan senang hati utk saya amanatkan, saya harap abg mampu menjadi tauladan dan panutan bagi bawahan abang tidsak seperti bos yg arogan tersebut bg. Inspiratif banget bg artikelnya.