
BI Rate merupakan suatu kebijakan moneter pemerintah melalui Bank Sentral yaitu Bank Indonesia. Kebijakan penurunan dan kenaikannya merupakan kebijakan yang kondusif untuk memenuhi permintaan domestik serta untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam jangka menengah, penurunan BI Rate sangat perlu untuk mengurangi ketidakpastian dan kerentanan baik disektor keuangan maupun rill, namun kebijakan penurunan harus diikuti dengan kebijakan stimulus fiscal yang dijanjikan pemerintah. BI Rate juga merupakan salah satu referensi bagi perbankan untuk price margin produk landing dan funding-nya, bila BI Rate turun maka cost of fund turun dan dimaintanance margin tertentu agar sustainable. Efek langsung terhadap penurunan BI Rate juga sangat tepat dalam memberikan pilihan terhadap bank atas dana yang menganggur karena mendapat bunga yang rendah mendingan diberikan ke sektor produktif atau rill. Yang menjadi tantangan perbankan saat ini adalah dengan turunnya BI Rate bagaimana cara dan upaya untuk menurunkan bunga simpanan yang akhirnya dapat menurunkan bunga pinjaman. Sudah diketahui bersama respon perbankan atas penurunan suku bunga BI Rate terhadap penurunan suku bunga kredit tidak secepat respon pada saat BI Rate naik,adapun hal itu dikarenakan ada tahapan-tahapan penyesuaian yang membutuhkan waktu cukup lama. Misalnya floating 3 bulan dan Fix bisa 1 tahun inipun kalau dalam situasi ekonomi yang normal jika saat krisis seperti saat ini bisa memakan waktu yang lebih lama lagi. Tidak dipungkiri beberapa bank termasuk bank plat merah sudah menurunkan tingkat suku bunga kreditnya antara 0,5 % hingga 1 % hingga saat ini, sementara BI Rate pada Desember 2008 bercokol pada angka 9,25 % dan di 5 Mei 2009 sudah menjadi 7,25 % atau 200 basis poin (bps).
BI dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Selasa (05/05) kembali memangkas bunga acuan BI Rate dari 7,5 persen menjadi 7,25 persen, mengingat laju inflasi semakin landai. Pada April terjadi deflasi 0,31 persen dan inflasi tahunan 7,31 persen. Bank Indonesia menilai, sampai saat ini kondisi perbankan nasional tetap terjaga baik. Rasio kecukupan modal masih cukup tinggi, yakni 17,4 persen dengan Gross Non Performing Loan (NPL) tetap terkendali di bawah 5 persen.
Sementara itu likuiditas perbankan, termasuk likuiditas dalam pasar uang antarbank, menurut BI, semakin membaik, demikian juga dengan Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat. Namun diakui BI, penyaluran kredit dalam triwulan I-2009 masih belum optimal. BI berharap kredit akan meningkat dalam triwulan II-2009. BI menilai, gambaran dan perkembangan ekonomi global yang membaik direspons secara positif seperti terlihat dari berbagai indikator keuangan, seperti indeks pasar saham dunia, dan spread premi risiko yang menurun tajam.
Hal ini mendorong kembalinya modal masuk ke emerging markets termasuk ke Indonesia, yang berdampak pada penguatan mata uang Rupiah, peningkatan indeks harga saham gabungan dan perbaikan yield surat utang negara. "Namun, Bank Indonesia mencermati bahwa perekonomian dunia diperkirakan masih mengalami kontraksi meskipun dengan laju yang melambat, Bank Indonesia memperkirakan perekonomian Indonesia 2009 masih akan berada pada kisaran 3-4 persen, didukung oleh permintaan domestik yang cukup baik, disertai kinerja ekspor yang lebih baik dari perkiraan semula. Sementara itu inflasi 2009 diperkirakan dapat mencapai batas bawah kisaran 5-7 persen. Adapun cadangan devisa Indonesia pada akhir April 2009 meningkat mencapai 56,57 miliar dollar AS.
BI harus lebih berhati-hati, sebab, jika bunga terlalu kecil, ia khawatir para pelaku pasar akan banyak berpindah ke dollar Amerika Serikat (AS). Bahkan, mereka akan memindahkan investasinya ke negara lain. Hal itu bisa saja terjadi karena investasi di Indonesia dinilai sudah tidak menarik, Pemangkasan suku bunga acuan karena ada beberapa kondisi yang cukup mendukung BI melakukannya, semisal, tren penguatan nilai rupiah dalam beberapa hari terakhir.
Nilai rupiah menurut kurs tengah BI pada tanggal 1 Mei ini menguat menjadi Rp 10.655,00, dibandingkan dengan dua hari sebelumnya Rp 10.859,00 per dollar AS. Sementara itu, pada perdagangan kemarin (3/5) rupiah kembali menguat menjadi Rp 10.485,00 per dollar AS. Selain itu, lanjut dia, penguatan indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) juga membuat banyak dana masuk ke Indonesia. Harapan dengan penurunan BI rate, akan ada sentimen positif yang dapat menjaga tren kenaikan harga saham. Terutama, milik emiten-emiten perbankan. Apalagi, hal itu bisa menjadi pertimbangan BI untuk bisa kembali memangkas suku bunga. Akan tetapi, kemungkinan penurunannya lagi tidak akan banyak berpengaruh pada suku bunga bank.
Kondisi ini karena hingga sekarang kalangan perbankan akan lebih memilih berhati-hati dan tidak terlalu agresif untuk meningkatkan kredit. Salah satunya, karena mereka mewaspadai peningkatan tingkat kredit macet "Non Performing Loan/NPL". Perbankan masih melihat kondisi makro ekonomi dan menyediakan cadangan likuiditas agar posisi tetap aman, namun kalangan perbankan diprediksi akan memangkas suku bunga secara agresif setelah semester satu ini. Saat ini, mereka masih menunggu perkembangan stabilitas keamanan dan politik pasca-pemilihan Presiden 8 Juli 2009. Saat ini, bank akan lebih banyak berkonsolidasi secara internal dan merancang rencana ekspansi pada semester kedua. Selain itu, perbankan juga tidak akan secara terus-menerus membiarkan dananya tersimpan di SBI yang bunganya terus menurun. Ke depan, mereka akan berupaya meningkatkannya agar catatan perolehan labanya tinggi pada akhir tahun.
Penurunan BI Rate selalu saja dikaitkan dengan inflasi. Inflasi itu sendiri adalah suatu keadaan perekonomian yang ditandai oleh kenaikan harga secara cepat sehingga berdampak pada menurunnya daya beli; sering pula diikuti menurunnya tingkat tabungan dan investasi karena meningkatnya konsumsi masyarakat dan hanya sedikit untuk tabungan jangka panjang ; menurut ilmu ekonomi modern, ada dua jenis inflasi yaitu inflasi karena dorongan biaya (Cost Push Inflation) yaitu kenaikan upah memaksa industry untuk menaikkan harga guna menutup biaya upah dalam kontrak baru yang mengakibatkan adanya pola siklus upah dan harga yang lebih tinggi, pengendaliannya lebih baik dengan perlambatan tingkat pertumbuhan perekonomian daripada melalui kebijakan moneter ataupun fiscal. Sedangkan yang kedua inflasi karena meningkatnya permintaan (Demand Pull Inflation) yaitu permintaan yang tinggi atas kredit merangsang pertumbuhan produk nasional bruto yang selanjutnya menarik harga lebih lanjut keatas. Menurut ahli ekonomi, mereka percaya bahwa inflasi karena meningkatnya permintaan dapat dikendalikan melalui kombinasi kebijakan bank sentral dan kebijakan departemen keuangan, misalnya kebijakan uang ketat oleh Bank Sentral dan pengendalian pengeluaran oleh pemerintah.
Menurut ekonom diperkirakan BI Rate bisa sampai ke level 7 % hingga akhir tahun 2009 dan idealnya BI Rate harus berada sekitar 100 – 200 bps diatas angka Inflasi, agar bisa memberikan insentif atau sweetener bagi orang atau lembaga yang berinvestasi di SBI. Kondisi ini sangat tergantung dari peran pemerintah menjaga kombinasi harga yang rendah, supply dan demand yang stabil, panen raya dan yang jelas terhindar dari bencana alam.
Sebagian sumber dikutip dari Kompas.Com
Read More..